MILK FEVER
MILK FEVER
Milk fever dapat disebut juga:
- paresis
puerpuralis,
- hypocalcaemia,
- calving
paralysis,
- parturient
paralysis,
- parturient
apoplexy
Milk fever
adalah penyakit metabolisme pada hewan
yang terjadi pada waktu atau segera setelah melahirkan yang manifestasinya
ditandai dengan penderita mengalami depresi umum, tak dapat berdiri karena
kelemahan bagian tubuh sebelah belakang dan tidak sadarkan diri (Hardjopranjoto
1995).
Hypocalcaemia yaitu suatu kejadian
kelumpuhan yang terjadi sebelum, sewaktu atau beberapa jam sampai 72 jam
setelah partus (Achjadi tidak dipublikasikan). Biasanya kejadian ini
menyerang sapi pada masa akhir kebuntingan atau pada masa laktasi. Kasus
ini sering dialami sapi yang sudah melahirkan yang ketiga kalinya sampai yang
ketujuh (Girindra 1988).
Tetapi di beberapa daerah ternyata
penyakit ini ditemui juga pada sapi-sapi dara yang produksi tinggi dan terjadi
ditengah-tengah masa laktasi. Hardjopranjoto (1995) mengatakan bahwa
biasanya kasus ini terjadi pada sapi perah setelah beranak empat kali atau
lebih tua, jarang terjadi pada induk yang lebih muda atau sebelum beranak yang
ketiga.
Subronto (2001) mengatakan bahwa
beberapa kejadian disertai syndrom paresis yang terjadi dalam beberapa minggu
atau beberapa bulan sesudah melahirkan. Pada kasus yang ditemukan
dilapangan terjadi pada sapi perah yang melahirkan ketiga, tetapi berdasarkan
anamnese (cerita) dari pemiliknya pada partus yang kedua juga pernah mengalami
kasus ini.
Ditinjau dari bangsa sapi, bangsa Jersey
paling sering menderita penyakit ini disusul kemudian sapi Holstain Frisian dan
bangsa sapi yang lain. Di negara yang maju peternakan sapi perahnya
kejadian penyakit mencapai 3-10% dan kadang-kadang di dalam satu peternakan
dapat berupa sebagai suatu wabah dengan angka kejadian mencapai 90%
dari populasi sapi perah dikelompoknya. Kasus ini dapat bersifat habitualis artinya penyakit paresis puerpuralis ini
pada induk sapi dapat terulang pada partus berikutnya.
Penyebab yang jelas belum ditemukan,
tetapi biasanya ada hubungannya dengan produksi yang tinggi secara tiba-tiba
pada sapi yang baru melahirkan. Sapi yang menderita penyakit
ini di dalam darahnya dijumpai adanya hipocalcaemia yaitu penurunan kadar
kalsium yang cepat di dalam serum darah penderita (Hardjopranjoto 1995;
Girindra 1988; Fraser 1991; Wondonga 2002; Carlton 1995).
Subronto (2001) mengatakan bahwa dahulu
gangguan ini diduga disebabkan oleh adanya bendungan pada sistem syaraf,
alergi, penyakit neuro muskuler, penyakit keturunan, penyakit ketuaan, penyakit
infeksidan penyakit defisiensi makanan yang menyangkut kalsium, fosfor, vitamin
A, vitamin D dan protein.
Pada keadaan normal kadar Ca dalam darah
adalah 9-12 mgram persen. Pada keadaan subklinis kadar Ca dalam darah 5-7
mgram persen dan pada kejadian hypocacaemia kadar ion Ca dalam darah 3-5 mgram
persen.
Girindra (1988) mengatakan bahwa jumlah
kalsium yang terdapat dalam darah dan cairan ekstra sel hanya kira-kira 8 gram,
sedangkan untuk keperluan laktasi dalam satu hari dibutuhkan 3 x jumlah
itu. Jadi kekurangan kalsium jelas merupakan predisposisi kejadian
hypocalcaemia.
Dalam kenyataannya hypocalcaemia sering
diikuti dengan hipofosfatemia, hipermagnesemia atau hipomagnesemia dan
hiperglicemia. Penurunan kadar kalsium dan posfor ini adalah sebagai
akibat dari pemakaian mineral terutama kalsium dan posfor secara besar-besaran
untuk sintesa air susu dalam ambing dalam bentuk kolostrum secara tiba-tiba
menjelang kelahiran.
Subronto (2001) mengatakan bahwa adanya
hypocalcaemia akan diikuti oleh perubahan kadar fosfor dan gula dalam
darah. Kadar fosfor plasma yang rendah diakibatkan oleh penurunan
penyerapan fosfor anorganik dari usus. Mungkin pula disebabkan oleh
meningkatnya sekresi parathormon, hingga ekskresi fosfor meningkat.
Pada sapi yang baru melahirkan terbukti
kadar hormon tersebut meningkat, sebanding dengan penurunan kadar fosfat di
dalam darahnya. Kenaikan parathormon akan diikuti oleh kenaikan
pembongkaran kalsium dalam tulang, yang dalam hal ini dapat dilihat dari ada
tidaknya kenaikan hidroksi prolin di dalam kemih.
Hidroksi prolin merupakan hasil
pemecahan kalogen. Dalam hal ini kadar magnesium dalam serum darah
mempengaruhi gejala yang timbul pada sapi perah. Jika kadar
magnesium dalam serum normal atau lebih tinggi maka gejala tetani dan eksitasi
akibat hipocalcaemia akan diikuti oleh relaksasi, otot lemah, depresi dan koma.
Jika kadar magnesium rendah dalam serum
maka akan terlihat kekejangan selama beberapa waktu. Berkurangnya kadar
magnesium dalam plasma darah disebabkan oleh beberapa faktor antara lain
karena:
pembebasan magnesium bersama air susu
yang besarnya 0.1 g dan berkurangnya penyerapan magnesium lewat dinding
usus. Gangguan terhadap metabolisme karbohidrat juga dapat menyebabkan
berkurangnya kadar magnesium dalam plasma darah.
Bila kadar magnesium dalam serum hewan
yang menderita hypocacaemia tidak menurun atau lebih tinggi maka gejala
eksitasi dan tetani akan segera diikuti oleh relaksasi. Otot-otot
kelihatan melemah, depresi dan pada akhirnya koma. Perbandingan Ca:Mg
bisa berubah dari 6:1 menjadi 2:1 dan dalam perbandingan ini efek narkase
magnesium nyata dapat dilihat.
Hypocalcaemia dapat menghambat ekskresi
insulin sehingga pada kasus ini biasanya selalu diikuti kenaikan kadar glukosa
darah (Girindra 1988). Subronto (2001) mengatakan bahwa kenaikan moderat
kadar glukosa dalam darah (hiperglisemia) dijumpai pada sapi yang baru
melahirkan dan hewan tidak memperlihatkan gejala klinis. Pada sapi yang
menderita paresis berat kadar glukosanya dapat mencapai 160 mg/dl.
Hal ini disebabkan oleh terhambatnya
sekresi insulin oleh karena turunnnya kadar kalsium darah. Selain itu
hyperglisemia juga dapat disebabkan oleh meningkatnya produksi hormon glukagon
yang dihasilkan oleh sel A dari pankreas dan berfungsi untuk menaikkan kadar
glukosa darah serta meningkatkan pembongkaran glikogen hati.
Glukagon juga mampu merangsang
enzim adenil siklase di dalam hati, hingga proses glikogenolisis ditingkatkan
dan menghambat sintesa glikogen dari UDP-glukosa (UDP, uridin difosfat).
Kadang-kadang dalm milk fever juga terjadi penurunan kadar potassium.
Penurunan kadar ion K tersebut sebanding dengan lamanya sapi tidak dapat
berdiri. Makin lama berbaring makin besar penurunan ion K. Sapi
yang terlalu lama berbaring oleh rusaknya sel-sel otot akan diikuti kenaikan
kadar SGOT.
Pada kasus milk fever kadang-kadang
kenaikan enzima tersebut mencapai 10%. Kemungkinan faktor genetis yang
berhubungan dengan produksi susu yang tinggi merupakan penyebab lain dari
penyakit paresis puerpuralis. Pada sapi perah yang pernah menderita
penyakit ini dapat menurunkan anak yang juga mempunyai bakat menderita paresis
puerpuralis.
Paresis puerpuralis biasanya terjadi
18-24 jam post partus. Akan tetapi dari laporan bahwa penyakit ini dapt
juga terjadi beberapa jam sebelum partus atau beberapa hari setelah
partus. Penyakit ini juga dapat terjadi pada induk sapi yang mengalami
kelahiran yang sukar (dystokia) karena kurangnya kekuatan untuk mengeluarkan fetus. Kasus yang
terjadi di lapangan mulai terjadi sejak dua minggu post partus dan sapi
benar-benar ambruk baru lima hari.
Hardjopranjoto (1995) mengatakan bahwa
ada beberapa teori, mengapa sapi perah yang baru melahirkan dan produksi susu
tinggi sering terjadi hipocalcaemia sehingga mendorong terjadinya kasus paresis
puerpuralis.
- Hormon
parathyroid yang kadarnya mengalami penurunan dalam darah
(defisiensi), karena stres kelahiran dapat mengganggu keseimbangan mineral
dalam darah khususnya kalsium disusul adanya hipokalcaemia dan selanjutnya
timbul kasus paresis puerpuralis. Berkurangnya aktivitas parathormon
pada saat kelahiran disebabkan oleh defisiensi vitamin D.
- Stres
melahirkan menyebabkan hormon tirokalsitonin yang mengatur glukosa usus
dalam menyerap mineral kalsium dari pakan menurun dan mempengaruhi kadar
kalsium dalam darah. Bila hormon tirokalsitonin menurun dapat
diikuti menurunnya kadar kalsium dalam darah. Hormon tirokalsitonin
atau kalsitonin dihasilkan oleh sel ultimobranchial C dari kelenjar
tiroid.
- Waktu
proses kelahiran, kalsium dibutuhkan terlalu banyak oleh air susu,
khususnya dalam kolostrum. Kebutuhan ini dapat dicukupi dari ransum
pakan ternak, dari tulang dalam tubuh induk atau dari darah.
Rendahnya penyerapan kalsium dalam ransum pakan atau absorbsi kalsium
dalam saluran pencernaan, dapat disebabkan adanya gangguan pada dinding
usus. Penurunan nafsu makan pada induk yang sedang bunting
mengakibatkan masuknya bahan pakan menurun, menyebabkan penyediaan kalsium
dalam alat pencernaan yang rendah diikuti oleh penyerapan kalsium juga
rendah. Daya menyerap dinding usus terhadap kalsium dapat menurun
pada induk sapi yang sudah tua. Pada sapi yang masih muda 80%
kalsium dalam usus dapat diserap, makin tua umurnya makin menurun daya
serap usus terhadap kalsium, karena pH usus yang tinggi dan kadar lemak
yang tinggi dalam makanan dapat menghambat penyerapan kalsium. Pada
sapi yang sudah tua, penyerapan kalsium hanya mencapai 15% dari kalsium
yang ada dalam pakan.
- Persediaan
kalsium dalam tulang yang dapat dimobilisasi, bervariasi menurut umur sapi.
Pada anak sapi, 6-20% kebutuhan normal akan kalsium dapat disediakan oleh
tulang, sedang pada sapi yang telah tua kemampuan tulang dalam menyediakan
kalsium hanya 2-5%.
- Vitamin
D berperan dalam menimbulkan kasus paresis puerpuralis. Gangguan
terhadap produksi pro vitamin D dalam tubuh dapat mengurangi tersedianya
vitamin D dan dapat mendorong terjadinya penyakit ini, karena
vitamin D mengatur keseimbangan kalsium dan posfor dalam tubuh dan proses
deposisi atau mobilisasi kalsium dari tulang yang masih muda.
Vitamin D yang aktif di dalam metabolisme kalsium dan fosfor adalah
vitamin D3 (25-Hydroxycholecalciferol).
- Hormon
estrogen dan steroid yang lain baik yang dihasilkan oleh plasenta maupun
kelenjar adrenal bagian korteks dapat menurunkan penyerapan kalsium dari
usus atau mobilisasi kalsium dari tulang muda. Pada sapi bunting
aktifitas estrogen plasma meningkat sampai satu bulan sebelum
melahirkan. Peningkatan berlangsung dengan cepat satu minggu sebelum
melahirkan untuk kemudian menurun tajam 24 jam sebelum melahirkan.
Hardjopranjoto (1995) mengatakan bahwa
ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya paresis puerpuralis yaitu :
- Produksi
susu tinggi. Sapi perah yang mempunyai produksi susu yang tinggi
membutuhkan kalsium dari darah untuk produksi susu yang tinggi.
Akibatnya kadar kalsium dalam darah dalam waktu singkat menjadi rendah
(hypocalcaemia), diikuti gejala paresis puerpuralis.
- Umur.
Produksi susu secara normal, grafiknya akan meningkat mulai laktasi
keempat sampai umur-umur berikutnya dan diikuti dengan kebutuhan kalsium
yang meningkat pula. Sedangkan kemampuan mukosa usus untuk
menyerap kalsium makin tua umurnya makin menurun.
- Nafsu
makan. Pada kira-kira 8-16 jam sebelum partus induk sapi akan
menurun nafsu makannya swampai pada tidak mau makan sama sekali. Hal
ini mengakibatkan persediaan kalsium dalam pakan yang siap dicerna menjadi
menurun, akibatnya kekurangan kalsium diambil dari darah sehingga kalsium
dalam darah menjadi turun dan diikuti oleh hypocalcaemia. Penurunan
nafsu makan mungkin juga disebabkan meningkatnya kadar estrogen dalam
darah pada fase terakhir dari kebuntingan menjelang terjadinya
kelahiran. Keadaan ini dapat mengganggu keseimbangan kalsium dalam
tubuh sehingga kadar kalsium dalam darah merosot dari keadaan normal yaitu
9-12 mgram persen menjadi 4-5 mgram persen.
- Ransum
makanan. Ransum yang baik adalah bila imbangan antara Ca dan P
mempunyai perbandingan 2 dan 1. Ransum pakan semacam ini adalah
ransum yang dianjurkan sapi untuk sapi perah menjelang partus. Sapi
bunting tua yang diberi ransum kaya akan Ca dan rendah P cenderung
mengalami paresis puerpuralis sesudah melahirkan.
Pada awal penyakit hewan mula-mula
terlihat gelisah, ketakutan dan nafsu makan menghilang. Kemudian terlihat
gangguan pengeluaran air kemih dan tinja. Kadang-kadang terlihat tremor
dan hipersensitivitas urat daging di kaki belakang dan kepala (Girindra 1988).
Hardjopranjoto (1995) mengatakan gejala
pertama yang terlihat pada penderita dalah induk sapi mengalami sempoyongan
waktu berjalan atau berdiri dan tidak adanya koordinasi gerakan dan
jatuh. Biasanya hewan itu selalu berusaha untuk berdiri. Bila pada
stadium ini induk sapi dapat diadakan pengobatan gejala paresis tidak akan
muncul.
Bila pengobatan belum dilakukan gejala
berikutnya adalah induk sapi penderita berbaring dengan pada sebelah sisinya
atau pada tulang dada (sternal recumbency) dan diikuti dengan mengistirahatkan kepalanya dijulurkan ke arah atas kedua
kaki depan atau kepala diletakkan disebelah sisi dari tubuh diatas
bahu/scapula (kurva S) namun ada juga yang tidak disertai kurva S.
Matanya mejadi membelalak dan pupilnya
berdilatasi, kelihatan anoreksi, moncongnya kering dan suram, hewan tidak peka
terhadap sakit dan suara, suhu rektal umumnya sub normal walaupun terkadang
masih dalam batas normal, rumen dan usus mengalami atoni, anggota badan dingin,
denyut jantung meningkat, defekasi terhambat dan anus relaksasi.
Bila pengobatan ditunda beberapa jam
kemudian induk berubah menjadi tidak sadarkan diri dan kalau tidak ada
pertolongan hewan bertambah depresi urat daging melemah dan berbaring dengan
posisi lateral (tahap komstose). Hewan tidak dapat bangun lagi dan akibat
gangguan berbaring terus terjadi timpani. Pulsa meningkat (sampai
lebih dari 120 x), pupil mata berdilatasi, kepekaan terhadap cahaya
menghilang dan akhirnya beberapa jam terjadi kematian.
Subronto (2001) mengatakan bahwa
gambaran klinis milk fever yang dapat diamati tergantung pada tingkat dan
kecepatan penurunan kadar kalsium di dalam darah. Dikenal 3 stadia
gambaran klinis yaitu stadium prodromal, berbaring (rekumbent) dan stadium
koma.
- Stadium
1 (stadium prodromal). Penderita jadi gelisah dengan ekspresi muka
yang tampak beringas. Nafsu makan dan pengeluaran kemih serta tinta
terhenti. Meskipun ada usaha untuk berak akan tetapi usaha tersebut
tidak berhasil. Sapi mudah mengalami rangsangan dari luar dan
bersifat hipersensitif. Otot kepala maupun kaki tampak
gemetar. Waktu berdiri penderita tampak kaku, tonus otot alat-alat
gerak meningkat dan bila bergerak terlihat inkoordinasi. Penderita
melangkah dengan berat, hingga terlihat hati-hati dan bila dipaksa akan
jatuh, bila jatuh usaha bangun dilakukan dengan susah payah dan mungkin
tidak akan berhasil.
- Stadium
2 (stadium berbaring/recumbent). Sapi sudah tidak mampu berdiri,
berbaring pada sternum dengan kepala mengarah ke belakang hingga dari
belakang seperti huruf S. Karena dehidrasi kulit tampak kering,
nampak lesu, pupil mata normal atau membesar dan tanggapan terhadap rangsangan
sinar jadi lambat atau hilang sama sekali. Tanggapan terhadap
rangsangan rasa sakit juga berkurang, otot jadi kendor, spincter ani
mengalami relaksasi, sedang reflek anal jadi hilang dengan rektum yang
berisi tinja kering atau setengah kering. Pada stadium ini penderita
masih mau makan dan proses ruminasi meskipun berkurang intensitasnya masih
dapat terlihat. Pada tingkat selanjutnya proses ruminasi hilang dan
nafsu makan pun hilang dan penderita makin bertambah lesu. Gangguan
sirkulasi yang mengikuti akan terlihat sebagai pulsus yang frekuen dan
lemah, rabaan pada alat gerak terasa dingin dan suhu rektal yang bersifat
subnormal.
- Stadium
3 (stadium koma). Penderita tampak sangat lemah, tidak mampu bangun
dan berbaring pada salah satu sisinya (lateral recumbency).
Kelemahan otot-otot rumen akan segera diikuti dengan kembung rumen.
Gangguan sirkulasi sangat mencolok, pulsus jadi lemah (120 x/menit), dan
suhu tubuh turun di bawah normal. Pupil melebar dan refleks terhadap
sinar telah hilang. Stadium koma kebanyakan diakhiri dengan
kematian, meskipun pengobatan konvensional telah dilakukan.
Gejala klinis yang ditemukan dilapangan
yaitu sapi mulai ambruk pada hari Sabtu (6/5/06) tapi masih dapat berdiri
kembali dan pada hari ini (Rabu, 10/5/06) tidak dapat berdiri walaupun sudah
diinduksi dengan menggunakan elektrocoxer. Temperatur tubuh 39.60 C. Temperatur tubuh ini sedikit naik, dimana suhu tubuh untuk sapi
dewasa 38.5-39.20 C. Ekspresi wajah sapi lesu dengan kepala terkulai di tanah
dijulurkan ke arah atas kedua kaki depan, mata terbuka lebar, pupil berdilatasi
dan vasa injeksio yang kelihatan jelas pada sklera mata.
Cuping hidung kering dan kusam, pada
gusi atas dan bawah serta lidah terdapat lepuh/ulkus seperti kejadian sariawan
dengan mukosa mulut rose. Auskultasi terhadap terhadap paru-paru
didapatkan hasil bahwa suara vesikuler pada inspirasi lebih dominan, keadaan
ini berhubungan dengan kondisi sapi yang berbaring. Frekuensi pernafasan
juga naik drastis 3 kali lipat yaitu sebanyak 106 x/menit dimana pada keadaan
yang normal hanya 10-30 x/menit.
Intensitas pernafasannya dangkal dan
cepat dengan dengan ritme aritmis. Auskultasi terhadap terhadap jantung
didapatkan hasil bahwa intensitas jantung lemah, ritme reguler, frekuensi
jantung 92 x/menit, frekuensi nadi 92 x/menit dan suara sistol intensitasnya
lemah serta suara diastol intensitasnya lebih lemah daripada suara
sistol. Intensitas jantung yang lemah dapat menyebabkan kepenuhan
dari vena jugularis.
Kondisi ini disebut sebagai pulsus
jugularis yang negatif karena pada waktu sistol darah untuk sementara waktu
tidak dapat masuk ke dalam atrium sehingga darah akan didorong kembali ke dalam
vena jugularis. Pulsus jugularis yang negatif ini merupakan dilatasi dari
vena jugularis pada waktu presistol yaitu sebelum jantung berdenyut.
Kejadian ini akan lebih jelas pada
stenosis valvula tricuspidalis, pada heart block dan pada pericarditis
exudativa. Pemeriksaan regio abdomen secara inspeksi, auskultasi, palpasi
dan perkusi didapatkan hasil bahwa suara peristaltik lambung tidak ada, palpasi
rumen keras, uji tinju yang dilakukan mendapatkan suara peristaltik yaitu air
dan frekuensinya hanya 3 x/5 menit, dimana dalam keadaan normal suara ini akan
terdengar 5-8 x/menit. Palpasi rumen yang keras dan tidak adanya suara
peristaltik menunjukkan bahwa tidak adanya aktifitas mekanik di dalam saluran
pencernaan.
Aktifitas mekanik merupakan suatu
keadaan yang menggambarkan kontraksi sirkuler dinding usus. Kontraksi ini
bertujuan untuk menggerakkan bahan-bahan yang akan dicerna disepanjang saluran
pencernaan, untuk mencampur getah pencernaan dengan makanan dan membawa zat
makanan hasil pencernaan kearah membran mukosa untuk penyerapan
berikutnya. Pada sapi yang ditemui dilapangan kondisi ini tidak ditemukan,
hal ini karena kejadian kembung yang terjadi pada sapi.
Kembung pada sapi ini sebagai akibat
penumpukan gas dalam lambung (rumen) karena tidak adanya aktivitas mekanis
sehingga rumen akan penuh dengan makanan yang tidak tercerna. Kondisi ini
membawa akibat kosongnya usus dan tidak adanya penyerapan makanan. Pada
pemeriksaan daerah anus dan uroginital didapatkan hasil bahwa daerah sekitar
anus kotor karena feses yang keluar lembek dan reflek spincter ani yang
tidak bagus.
Beberapa penyakit komplikasi dapat timbul
mengikuti kejadian hypocalcaemia, karena kondisi penderita yang terus berbaring
diantaranya :
1. Dekubites, kulit lecet-lecet.
Luka ini disebabkan karena infeksi yang berasal dari lantai, dapat menyebabkan
dekubites.
2. Perut menjadi gembung atau timpani,
karena lantai yang selalu dingin mendorong terjadinya penimbunan gas dalam
perut pada penderita yang selalu berbaring.
3. Pneumonia. Kerena terjadi
regurgitasi pada waktu memamah biak disertai adanya paralisa dari laring dan
faring. Sewaktu menelan makanan, sebagian makanan masuk ke dalam
paru-paru dan dpat diikuti oleh pneumonia pada penderita.
Komplikasi kasus yang
ditemukan dilapangan yaitu terjadinya lecet-lecet yang terjadi di kulit
sebagai akibat adanya infeksi yang berasal dari lantai karena hewan lama
berbaring (dekubitus) dan terjadinya pneumonia karena makanan menumpuk di dalam
rumen sebgai akibat tidak adanya tonus dalam dalam rumen dan gerakan
peristaltik usus peristaltik.
Kejadian pneumonia ini juga sebagai
akibat sapi terlalu lama berbaring di lantai sehingga banyak terjadi penimbunan
gas, jika kondisi berlangsung lama akan menyebabkan paralisa laring dan faring
sehingga sapi akan mengalami kesusahan pada waktu regurgitasi pada waktu
memamahbiak akibatnya sebagian makanan akan masuk ke dalam paru-paru.
Diagnosa banding perlu diadakan karena
banyak penyakit atau keadaan yang dapat menyerupai paresis puerpuralis,
sehingga dapat mengaburkan diagnosa yang bisa terjadi sebelum atau sesudah
partus.
Jika kejadian kelumpuhan terjadi sebelum
partus kemungkinan penyakit pembandingnya diantaranya metritis septika, akut
mastitis, milk fever dan hidrops, sedangkan jika kelumpuhan setelah melahirkan
kemungkinan penyakit pembandingnya yaitu calving paralysis, calving injuri,
ruptura ligamen sendi belakang, septic metritis&vaginitis, ruptura uteri,
paralysis obturatorius, ruptura tendon dan otot, kekejangan otot, toxemia,
arthritis akut, dan fraktura pelvis.
Prognosa terhadap kasus hypocalcaemia
yaitu fausta-infausta. Fausta jika kejadian hypocalcaemia cepat ditangani
(95% sembuh) dan infausta jika penanganan yang lambat dan pengobatan pertama
yang tidak menunjukkan perubahan ke arah kondisi yang membaik. Kecepatan
dan ketepatan diagnosis serta pengobatan sangat membantu kesembuhan . kesembuhan
spontan hampit tidak dimungkinkan.
Pemeriksaan penunjang yang perlu
dilakukan terhadap sapi ini adalah melakukan pemeriksaan darah. Darah
dapat diambil lewat vena jugularis. Darah yang diambil diperiksa terhadap
kadar kalsium darah.
Kalsium dalam serum dapat diukur dengan
metoda sangat sederhana sampai metoda yang mutakhir. Yang termasuk
sederhana ialah dengan metoda Clark&Collib yang menggunakan KmnO4 untuk titrasi. Lainnya ialah dengan metoda “kolorimetri sederhana”,
berdasarkan intensitas warna yang kemudian dibandingkan dengan warna standar.
Sekarang sering dilakukan uji untuk
menentukan kadar kalsium mengion. Dalam hal ini dipakai suatu elektroda
yang bersifat khas untuk ion kalsium. Lain dari itu kadar kalsium dalam
darah dapat pula ditentukan dengan “Atomic absorption spectroscopy” (Girindra
1988).
Subronto (2001) mengatakan bahwa
pemeriksaan kadar kalsium dalam darah dilapangan adalh menurut cara Herdt
(1981) dimana peralatan yang dibutuhkan yaitu tabung rekasi 12 ml dengan
kalibrasi 2,3,5,7 dan 10 ml, karutan EDTA 1,9%, alat suntik tuberkulin dan
water bath. Cara pemeriksaannya yaitu ke dalam semua tabung reaksi
dimasukkan EDTA sebanyak 0.1 ml. Darah sebanyak 35 ml diambil dari vena
jugularis dengan cepat dan dimasukkan ke dalam 5 tabung sampai pada batas
kalibrasi.
Setelah ditutup dikocok kuat-kuat
dimasukkan ke dalam water bath dengan suhu 1150 F (46.10 C) dan diamati selama 15 dan 20 menit. Setelah waktu tersebut rak
diangkat dan jumlah tabung yang darahnya menggumpal dihitung. Pada kasus
di lapangan tidak dilakukan pengecekan darah untuk melihat kadar Ca, Mg dan P.
Terapi yang dilakukan sudah dilakukan
dua kali, dimana pengobatan pertama dilakukan pada hari sabtu (6/05/06) disaat
pada sapi baru ambruk. Obat-oabtan yang diberikan terdiri dari Calci TAD® 50 (3.10 g Ca-glukonas, 4.29 g Ca boroglukonas, 1.32 g Ca-Hydroxie, 6.5 g
MgCl-6H2O, 0.6 g 2 aminoethyl dyhidrogen phospatase, 0.1 g methyl
4-hydrogen zinx) dosis 150 cc SC, Hematophan® (Tiap ml mengandung natrium kakodilat 30 mg, besi (III) ammonium sitrat 20
mg, metionin 10 mg, histidin 5 mg, triptopan 2.5 md dan vitamin B12 10 mcg) 20 cc IM dan Novaldon® (Methamphiron 250 mg,
Pyramidon 50 mg, lidocaine 15 mg) 25 cc IM. Setelah pengobatan ini sapi
menunjukkan kondisi yang agak membaik, tetapi pada hari selasa (9/5/06) sapi
ambruk kembali dan dilakukan tretmen ulang dengan menggunakan Calci TAD® 50 (3.10 g Ca-glukonas, 4.29 g Ca boroglukonas, 1.32 g Ca-Hydroxie, 6.5 g
MgCl-6H2O, 0.6 g 2 aminoethyl dyhidrogen phospatase, 0.1 g methyl
4-hydrogen zinx) dosis 150 cc SC, metabolase® (Mengandung I-carnitine hydrochloride, Thioctic acid,
Pyridoxine hydrochloride, Cyanocobalamine,
d,I-acetylmethionine, I-argin- ine, I-ornithine
hydrochloride, I-citruline, I-lysin hydrochloride,
Glysine, Taurine, Aspartic acid, Glutamic acid,
Fruktosa, Sorbitol) sebanyak 250 cc SC.
Pada pengobatan kedua ini sapi tidak
menunjukkan perubahan dan kondisinya cenderung menurun. Hardjopranjoto
(1995) mengatakan bahwa pengobatan pada paresis puerpuralis ditujukan untuk
mengembalikan kadar kalsium yang normal dalam darah. Pengobatan biasanya
dipakai preparat kalsium seprti kalsium boroglukonat yang terdiri dari kalsium
boroglukonat 20% sebanyak 250-500 ml diberikan intravena atau 500 ml intravena
dikombinasikan dengan 250 ml subkutan. Penyuntikan intravena dengan
menggunakan jarum 16 g disuntikkan selama 10-15 menit dimaksudkan agar
penyerapan lebih cepat sedang penyuntikan subkutan bila dikehendaki
penyerapannya lambat dan dapat memperbaiki turgor kulit.
Dalam waktu yang sangat singkat
kadang-kadang sebelum penyuntikan selesai dilakukan penderita sudah sanggup
berdiri. Apabila setelah dilakukan penyuntikan dengan sediaan kalsium
belum memberikan hasil penderita perlu dipacu agar bangun dengan jalan dicambuk
atau kalau ada dengan electric coaxer. Electric coaxer dapat pula dipakai
untuk mengetahui tingkat paresis yang terdapat pad anggota gerak (Subronto
2001).
Bila kasus ini disertai hipomagnesemia
sebaiknya disuntik dengan kombinasi kalsium boroglukonat dan magnesium
boroglukonat yang terdiri dari kalsium boroglukonat 200 gram, magnesium
boroglukonat 50 gram dan aquades sampai 1000 ml selanjutnya dibuat larutan
steril. Dosis pemberian yaitu 200-500 ml secara intravena.
Pada kasus paresis puerpuralis yang disertai ketosis maka pengobatan dilakukan
dengan pemberian kalsium boroglukonat ditambah dekstrose 5% sebanyak 250-500 ml
secara intravena.
Bila pengobatan ini tidak berhasil dapat
dicoba pengobatan dengan menggunakan pemompaan (insufflasi) udar ke dalam keempat kwartir ambing hingga tekanan
intra-mamer meningkat dan menghentikan pengeluaran air susu berikutnya yang
berarti menghentikan penghentian pengurasan unsur kalsium ke dalam ambing.
Pengobatan cara ini dapat diulangi
setiap 6-8 jam. Pengobatan dengan cara ini terbukti telah mengurangi
kematian sebesar 15%. Untuk mencegah terjadinya komplikasi seperti
dekubites, gembung perut atau pneumonia maka induk penderita sebaiknya selalu
dibolak-balik dan diberikan jerami yang cukup tebal sebagai alas berbaring.
Evaluasi pengobatan dengan penyuntikan
kalsium ini diajurkan mendengarkan denyut jantung dengan stetoskop. Kalau
tidak digunakan stetoskop, secara visual dapat diikuti dengan melihat reaksi
penderita, kecepatan pulsus venosus, gerak bola mata, dan tidaknya eksitasi.
Jika terjadi keracunan sediaan kalsium
yang harus segera dilakukan adalah menghentikan penyuntikan, memberikan masase
jantung, memberikan sediaan yang berefek pada jantung (MgSO4, atropin), dan sediaan yang dapat mengikat (chelating agent) kalsium misalnya Na-EDTA.
Pencegahan terhadap kejadian milk fever
sangat dipengaruhi oleh jumlah kalsium yang dapat diserap dan bukan pada unsur
fosfor atau imbangan Ca:P. Pemberian kalsium hendaknya sekedar untuk
memelihara fungsi faali (2.5 g/100 lb). Yang ideal jumlah Ca dalam pakan
sehari adalah 20 gram saja.
Banyak sapi yang mengalami milk fever
oleh pemberian kalsium yang tinggi, tidak terganggu oleh pembatasan pemberian
unsur tersebut. Di daerah yang cukup kandungan kalsiumnya dalam pakan
sehari-hari pemberian mineral blok yang mengandung kalsium-fosfat tidak
dianjurkan untuk sapi yang bunting sarat.
Setelah melahirkan pemberian garam
kalsium harus ditingkatkan. Pemberian vitamin D2 20-30 juta IU/hari 3-8 hari pre partus mampu menurunkan kejadian milk
fever. Vitamin D3 sebanyak 10 juta IU yang disuntikkan intravena sekali saja 28 hari sebelum
malahirkan dapt pula menurunkan kejadian milk fever tanpa diikuti deposisi
kalsium dialat-alat tubuh.