MILK FEVER

MILK FEVER

Milk fever dapat disebut juga:
  • paresis puerpuralis,
  • hypocalcaemia,
  • calving paralysis,
  • parturient paralysis,
  • parturient apoplexy
Milk fever
adalah penyakit metabolisme pada hewan yang terjadi pada waktu atau segera setelah melahirkan yang manifestasinya ditandai dengan penderita mengalami depresi umum, tak dapat berdiri karena kelemahan bagian tubuh sebelah belakang dan tidak sadarkan diri (Hardjopranjoto 1995).
Hypocalcaemia yaitu suatu kejadian kelumpuhan yang terjadi sebelum, sewaktu atau beberapa jam sampai 72 jam setelah partus (Achjadi tidak dipublikasikan).  Biasanya kejadian ini menyerang sapi pada masa akhir kebuntingan atau pada masa laktasi.  Kasus ini sering dialami sapi yang sudah melahirkan yang ketiga kalinya sampai yang ketujuh (Girindra 1988).
Tetapi di beberapa daerah ternyata penyakit ini ditemui juga pada sapi-sapi dara yang produksi tinggi dan terjadi ditengah-tengah masa laktasi.  Hardjopranjoto (1995) mengatakan bahwa biasanya kasus ini terjadi pada sapi perah setelah beranak empat kali atau lebih tua, jarang terjadi pada induk yang lebih muda atau sebelum beranak yang ketiga.
Subronto (2001) mengatakan bahwa beberapa kejadian disertai syndrom paresis yang terjadi dalam beberapa minggu atau beberapa bulan sesudah melahirkan.  Pada kasus yang ditemukan dilapangan terjadi pada sapi perah yang melahirkan ketiga, tetapi berdasarkan anamnese (cerita) dari pemiliknya pada partus yang kedua juga pernah mengalami kasus ini.
Ditinjau dari bangsa sapi, bangsa Jersey paling sering menderita penyakit ini disusul kemudian sapi Holstain Frisian dan bangsa sapi yang lain.  Di negara yang maju peternakan sapi perahnya kejadian penyakit mencapai 3-10% dan kadang-kadang di dalam satu peternakan dapat berupa sebagai suatu wabah   dengan angka kejadian mencapai 90% dari populasi sapi perah dikelompoknya.  Kasus ini dapat bersifat habitualis artinya penyakit paresis puerpuralis ini pada induk sapi dapat terulang pada partus berikutnya.
Penyebab yang jelas belum ditemukan, tetapi biasanya ada hubungannya dengan produksi yang tinggi secara tiba-tiba pada sapi yang baru melahirkan.    Sapi yang menderita penyakit ini di dalam darahnya dijumpai adanya hipocalcaemia yaitu penurunan kadar kalsium yang cepat di dalam serum darah penderita (Hardjopranjoto 1995; Girindra 1988; Fraser 1991; Wondonga 2002; Carlton 1995).
Subronto (2001) mengatakan bahwa dahulu gangguan ini diduga disebabkan oleh adanya bendungan pada sistem syaraf, alergi, penyakit neuro muskuler, penyakit keturunan, penyakit ketuaan, penyakit infeksidan penyakit defisiensi makanan yang menyangkut kalsium, fosfor, vitamin A, vitamin D dan protein.
Pada keadaan normal kadar Ca dalam darah adalah 9-12 mgram persen.  Pada keadaan subklinis kadar Ca dalam darah 5-7 mgram persen dan pada kejadian hypocacaemia kadar ion Ca dalam darah 3-5 mgram persen.
Girindra (1988) mengatakan bahwa jumlah kalsium yang terdapat dalam darah dan cairan ekstra sel hanya kira-kira 8 gram, sedangkan untuk keperluan laktasi dalam satu hari dibutuhkan 3 x jumlah itu.  Jadi kekurangan kalsium jelas merupakan predisposisi kejadian hypocalcaemia.
Dalam kenyataannya hypocalcaemia sering diikuti dengan hipofosfatemia, hipermagnesemia atau hipomagnesemia dan hiperglicemia.  Penurunan kadar kalsium dan posfor ini adalah sebagai akibat dari pemakaian mineral terutama kalsium dan posfor secara besar-besaran untuk sintesa air susu dalam ambing dalam bentuk kolostrum secara tiba-tiba menjelang kelahiran.
Subronto (2001) mengatakan bahwa adanya hypocalcaemia akan diikuti oleh perubahan kadar fosfor dan gula dalam darah.  Kadar fosfor plasma yang rendah diakibatkan oleh penurunan penyerapan fosfor anorganik dari usus.  Mungkin pula disebabkan oleh meningkatnya sekresi parathormon, hingga ekskresi fosfor meningkat.
Pada sapi yang baru melahirkan terbukti kadar hormon tersebut meningkat, sebanding dengan penurunan kadar fosfat di dalam darahnya.  Kenaikan parathormon akan diikuti oleh kenaikan pembongkaran kalsium dalam tulang, yang dalam hal ini dapat dilihat dari ada tidaknya kenaikan hidroksi prolin di dalam kemih.
Hidroksi prolin merupakan hasil pemecahan kalogen.  Dalam hal ini kadar magnesium dalam serum darah mempengaruhi  gejala yang timbul pada sapi perah.  Jika kadar magnesium dalam serum normal atau lebih tinggi maka gejala tetani dan eksitasi akibat hipocalcaemia akan diikuti oleh relaksasi, otot lemah, depresi dan koma.
Jika kadar magnesium rendah dalam serum maka akan terlihat kekejangan selama beberapa waktu. Berkurangnya kadar magnesium dalam plasma darah disebabkan oleh beberapa faktor antara lain karena:
pembebasan magnesium bersama air susu yang besarnya 0.1 g dan berkurangnya penyerapan magnesium lewat dinding usus.  Gangguan terhadap metabolisme karbohidrat juga dapat menyebabkan berkurangnya kadar magnesium dalam plasma darah.
Bila kadar magnesium dalam serum hewan yang menderita hypocacaemia tidak menurun atau lebih tinggi maka gejala eksitasi dan tetani akan segera diikuti oleh relaksasi.  Otot-otot kelihatan melemah, depresi dan pada akhirnya koma.  Perbandingan Ca:Mg bisa berubah dari 6:1 menjadi 2:1 dan dalam perbandingan ini efek narkase magnesium nyata dapat dilihat.
Hypocalcaemia dapat menghambat ekskresi insulin sehingga pada kasus ini biasanya selalu diikuti kenaikan kadar glukosa darah (Girindra 1988).  Subronto (2001) mengatakan bahwa kenaikan moderat kadar glukosa dalam darah (hiperglisemia) dijumpai pada sapi yang baru melahirkan dan hewan tidak memperlihatkan gejala klinis.  Pada sapi yang menderita paresis berat kadar glukosanya dapat mencapai 160 mg/dl.
Hal ini disebabkan oleh terhambatnya sekresi insulin oleh karena turunnnya kadar kalsium darah.  Selain itu hyperglisemia juga dapat disebabkan oleh meningkatnya produksi hormon glukagon yang dihasilkan oleh sel A dari pankreas dan berfungsi untuk menaikkan kadar glukosa darah serta meningkatkan pembongkaran glikogen hati.
Glukagon juga mampu merangsang  enzim adenil siklase di dalam hati, hingga proses glikogenolisis ditingkatkan dan menghambat sintesa glikogen dari UDP-glukosa (UDP, uridin difosfat).  Kadang-kadang dalm milk fever juga terjadi penurunan kadar potassium.  Penurunan kadar ion K tersebut sebanding dengan lamanya sapi tidak dapat berdiri.  Makin lama berbaring makin besar penurunan ion K.  Sapi yang terlalu lama berbaring oleh rusaknya sel-sel otot akan diikuti kenaikan kadar SGOT.
Pada kasus milk fever kadang-kadang kenaikan enzima tersebut mencapai 10%. Kemungkinan faktor genetis yang berhubungan dengan produksi susu yang tinggi merupakan penyebab lain dari penyakit paresis puerpuralis.  Pada sapi perah yang pernah menderita penyakit ini dapat menurunkan anak yang juga mempunyai bakat menderita paresis puerpuralis.
Paresis puerpuralis biasanya terjadi 18-24 jam post partus.  Akan tetapi dari laporan bahwa penyakit ini dapt juga terjadi beberapa jam sebelum partus atau beberapa hari setelah partus.  Penyakit ini juga dapat terjadi pada induk sapi yang mengalami kelahiran yang sukar (dystokia) karena kurangnya kekuatan untuk mengeluarkan fetus.  Kasus yang terjadi di lapangan mulai terjadi sejak dua minggu post partus dan sapi benar-benar ambruk baru lima hari.
Hardjopranjoto (1995) mengatakan bahwa ada beberapa teori, mengapa sapi perah yang baru melahirkan dan produksi susu tinggi sering terjadi hipocalcaemia sehingga mendorong terjadinya kasus paresis puerpuralis.
  1. Hormon parathyroid yang kadarnya mengalami penurunan dalam darah  (defisiensi), karena stres kelahiran dapat mengganggu keseimbangan mineral dalam darah khususnya kalsium disusul adanya hipokalcaemia dan selanjutnya timbul kasus paresis puerpuralis.  Berkurangnya aktivitas parathormon pada saat kelahiran disebabkan oleh defisiensi vitamin D.
  2. Stres melahirkan menyebabkan hormon tirokalsitonin yang mengatur glukosa usus dalam menyerap mineral kalsium dari pakan menurun dan mempengaruhi kadar kalsium dalam darah.  Bila hormon tirokalsitonin menurun dapat diikuti menurunnya kadar kalsium dalam darah.  Hormon tirokalsitonin atau kalsitonin dihasilkan oleh sel ultimobranchial C dari kelenjar tiroid.
  3. Waktu proses kelahiran, kalsium dibutuhkan terlalu banyak oleh air susu, khususnya dalam kolostrum.  Kebutuhan ini dapat dicukupi dari ransum pakan ternak, dari tulang dalam tubuh induk atau dari darah.  Rendahnya penyerapan kalsium dalam ransum pakan atau absorbsi kalsium dalam saluran pencernaan, dapat disebabkan adanya gangguan pada dinding usus.  Penurunan nafsu makan pada induk yang sedang  bunting mengakibatkan masuknya bahan pakan menurun, menyebabkan penyediaan kalsium dalam alat pencernaan yang rendah diikuti oleh penyerapan kalsium juga rendah.  Daya menyerap dinding usus terhadap kalsium dapat menurun pada induk sapi yang sudah tua.  Pada sapi yang masih muda 80% kalsium dalam usus dapat diserap, makin tua umurnya makin menurun daya serap usus terhadap kalsium, karena pH usus yang tinggi dan kadar lemak yang tinggi dalam makanan dapat menghambat penyerapan kalsium.  Pada sapi yang sudah tua, penyerapan kalsium hanya mencapai 15% dari kalsium yang ada dalam pakan.
  4. Persediaan kalsium dalam tulang yang dapat dimobilisasi, bervariasi menurut umur sapi.  Pada anak sapi, 6-20% kebutuhan normal akan kalsium dapat disediakan oleh tulang, sedang pada sapi yang telah tua kemampuan tulang dalam menyediakan kalsium hanya 2-5%.
  5. Vitamin D berperan dalam menimbulkan kasus paresis puerpuralis.  Gangguan terhadap produksi pro vitamin D dalam tubuh dapat mengurangi tersedianya vitamin D  dan dapat mendorong terjadinya penyakit ini, karena vitamin D mengatur keseimbangan kalsium dan posfor dalam tubuh dan proses deposisi atau mobilisasi kalsium dari tulang yang masih  muda.  Vitamin D yang aktif di dalam metabolisme kalsium dan fosfor adalah vitamin D3 (25-Hydroxycholecalciferol).
  6. Hormon estrogen dan steroid yang lain baik yang dihasilkan oleh plasenta maupun kelenjar adrenal bagian korteks dapat menurunkan penyerapan kalsium dari usus atau mobilisasi kalsium dari tulang muda.  Pada sapi bunting aktifitas estrogen plasma meningkat sampai satu bulan sebelum melahirkan.  Peningkatan berlangsung dengan cepat satu minggu sebelum melahirkan untuk kemudian menurun tajam 24 jam sebelum melahirkan.
Hardjopranjoto (1995) mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya paresis puerpuralis yaitu :
  1. Produksi susu tinggi.  Sapi perah yang mempunyai produksi susu yang tinggi membutuhkan kalsium dari darah untuk produksi susu yang tinggi.  Akibatnya kadar kalsium dalam darah dalam waktu singkat menjadi rendah (hypocalcaemia), diikuti gejala paresis puerpuralis.
  2. Umur.  Produksi susu secara normal, grafiknya akan meningkat mulai laktasi keempat sampai umur-umur berikutnya dan diikuti dengan kebutuhan kalsium yang meningkat pula.  Sedangkan kemampuan  mukosa usus untuk menyerap kalsium makin tua umurnya makin menurun.
  3. Nafsu makan.  Pada kira-kira 8-16 jam sebelum partus induk sapi akan menurun nafsu makannya swampai pada tidak mau makan sama sekali.  Hal ini mengakibatkan persediaan kalsium dalam pakan yang siap dicerna menjadi menurun, akibatnya kekurangan kalsium diambil dari darah sehingga kalsium dalam darah menjadi turun dan diikuti oleh hypocalcaemia.  Penurunan nafsu makan mungkin juga disebabkan meningkatnya kadar estrogen dalam darah pada fase terakhir dari kebuntingan menjelang terjadinya kelahiran.  Keadaan ini dapat mengganggu keseimbangan kalsium dalam tubuh sehingga kadar kalsium dalam darah merosot dari keadaan normal yaitu 9-12 mgram persen menjadi 4-5 mgram persen.
  1. Ransum makanan.  Ransum yang baik adalah bila imbangan antara Ca dan P mempunyai perbandingan 2 dan 1.  Ransum pakan semacam ini adalah ransum yang dianjurkan sapi untuk sapi perah menjelang partus.  Sapi bunting tua yang diberi ransum kaya akan Ca dan rendah P cenderung mengalami paresis puerpuralis sesudah melahirkan.
Pada awal penyakit hewan mula-mula terlihat gelisah, ketakutan dan nafsu makan menghilang.  Kemudian terlihat gangguan pengeluaran air kemih dan tinja.  Kadang-kadang terlihat tremor dan hipersensitivitas urat daging di kaki belakang dan kepala (Girindra 1988).
Hardjopranjoto (1995) mengatakan gejala pertama yang terlihat pada penderita dalah induk sapi mengalami sempoyongan waktu berjalan atau berdiri dan tidak adanya koordinasi gerakan dan jatuh.  Biasanya hewan itu selalu berusaha untuk berdiri.  Bila pada stadium ini induk sapi dapat diadakan pengobatan gejala paresis tidak akan muncul.
Bila pengobatan belum dilakukan gejala berikutnya adalah induk sapi penderita berbaring dengan pada sebelah sisinya atau pada tulang dada (sternal recumbency) dan diikuti dengan mengistirahatkan kepalanya dijulurkan ke arah atas kedua kaki depan atau kepala diletakkan disebelah sisi dari tubuh  diatas bahu/scapula (kurva S) namun ada juga yang tidak disertai kurva S.
Matanya mejadi membelalak dan pupilnya berdilatasi, kelihatan anoreksi, moncongnya kering dan suram, hewan tidak peka terhadap sakit dan suara, suhu rektal umumnya sub normal walaupun terkadang masih dalam batas normal, rumen dan usus mengalami atoni, anggota badan dingin, denyut jantung meningkat, defekasi terhambat dan anus relaksasi.
Bila pengobatan ditunda beberapa jam kemudian induk berubah menjadi tidak sadarkan diri dan kalau tidak ada pertolongan hewan bertambah depresi urat daging melemah dan berbaring dengan posisi lateral (tahap komstose).  Hewan tidak dapat bangun lagi dan akibat gangguan berbaring terus terjadi timpani.  Pulsa meningkat  (sampai lebih dari 120 x), pupil mata berdilatasi, kepekaan terhadap  cahaya menghilang dan akhirnya beberapa jam terjadi kematian.
Subronto (2001) mengatakan bahwa gambaran klinis milk fever yang dapat diamati tergantung pada tingkat dan kecepatan penurunan kadar kalsium di dalam darah.  Dikenal 3 stadia gambaran klinis yaitu stadium prodromal, berbaring (rekumbent) dan stadium koma.
  1. Stadium 1 (stadium prodromal).  Penderita jadi gelisah dengan ekspresi muka yang tampak beringas.  Nafsu makan dan pengeluaran kemih serta tinta terhenti.  Meskipun ada usaha untuk berak akan tetapi usaha tersebut tidak berhasil.  Sapi mudah mengalami rangsangan dari luar dan bersifat hipersensitif.  Otot kepala maupun kaki tampak gemetar.  Waktu berdiri penderita tampak kaku, tonus otot alat-alat gerak meningkat dan bila bergerak terlihat inkoordinasi.  Penderita melangkah dengan berat, hingga terlihat hati-hati dan bila dipaksa akan jatuh, bila jatuh usaha bangun dilakukan dengan susah payah dan mungkin tidak akan berhasil.
  2. Stadium 2 (stadium berbaring/recumbent).  Sapi sudah tidak mampu berdiri, berbaring pada sternum dengan kepala mengarah ke belakang hingga dari belakang seperti huruf S.  Karena dehidrasi kulit tampak kering, nampak lesu, pupil mata normal atau membesar dan tanggapan terhadap rangsangan sinar jadi lambat atau hilang sama sekali.  Tanggapan terhadap rangsangan rasa sakit juga berkurang, otot jadi kendor, spincter ani mengalami relaksasi, sedang reflek anal jadi hilang dengan rektum yang berisi tinja kering atau setengah kering.  Pada stadium ini penderita masih mau makan dan proses ruminasi meskipun berkurang intensitasnya masih dapat terlihat.  Pada tingkat selanjutnya proses ruminasi hilang dan nafsu makan pun hilang dan penderita makin bertambah lesu.  Gangguan sirkulasi yang mengikuti akan terlihat sebagai pulsus yang frekuen dan lemah, rabaan pada alat gerak terasa dingin dan suhu rektal yang bersifat subnormal.
  3. Stadium 3 (stadium koma).  Penderita tampak sangat lemah, tidak mampu bangun dan berbaring pada salah satu sisinya (lateral recumbency).  Kelemahan otot-otot rumen akan segera diikuti dengan kembung rumen.  Gangguan sirkulasi sangat mencolok, pulsus jadi lemah (120 x/menit), dan suhu tubuh turun di bawah normal.  Pupil melebar dan refleks terhadap sinar telah hilang.  Stadium koma kebanyakan diakhiri dengan kematian, meskipun pengobatan konvensional telah dilakukan.
Gejala klinis yang ditemukan dilapangan yaitu sapi mulai ambruk pada hari Sabtu (6/5/06) tapi masih dapat berdiri kembali dan pada hari ini (Rabu, 10/5/06) tidak dapat berdiri walaupun sudah diinduksi dengan menggunakan elektrocoxer.  Temperatur tubuh 39.60 C.  Temperatur tubuh ini sedikit naik, dimana suhu tubuh untuk sapi dewasa 38.5-39.20 C.   Ekspresi  wajah sapi lesu dengan kepala terkulai di tanah  dijulurkan ke arah atas kedua kaki depan, mata terbuka lebar, pupil berdilatasi dan vasa injeksio yang kelihatan jelas pada sklera mata.
Cuping hidung kering dan kusam, pada gusi atas dan bawah serta lidah terdapat lepuh/ulkus seperti kejadian sariawan dengan mukosa mulut rose.  Auskultasi terhadap terhadap paru-paru didapatkan hasil bahwa suara vesikuler pada inspirasi lebih dominan, keadaan ini berhubungan dengan kondisi sapi yang berbaring.  Frekuensi pernafasan juga naik drastis 3 kali lipat yaitu sebanyak 106 x/menit dimana pada keadaan yang normal hanya 10-30 x/menit.
Intensitas pernafasannya dangkal dan cepat dengan dengan ritme aritmis.  Auskultasi terhadap terhadap jantung didapatkan hasil bahwa  intensitas jantung lemah, ritme reguler, frekuensi jantung 92 x/menit, frekuensi nadi 92 x/menit dan suara sistol intensitasnya lemah serta suara diastol intensitasnya lebih lemah daripada suara sistol.   Intensitas jantung yang lemah dapat menyebabkan kepenuhan dari vena jugularis.
Kondisi ini disebut sebagai pulsus jugularis yang negatif karena pada waktu sistol darah untuk sementara waktu tidak dapat masuk ke dalam atrium sehingga darah akan didorong kembali ke dalam vena jugularis.  Pulsus jugularis yang negatif ini merupakan dilatasi dari vena jugularis pada waktu presistol yaitu sebelum jantung berdenyut.
Kejadian ini akan lebih jelas pada stenosis valvula tricuspidalis, pada heart block dan pada pericarditis exudativa.  Pemeriksaan regio abdomen secara inspeksi, auskultasi, palpasi dan perkusi didapatkan hasil bahwa suara peristaltik lambung tidak ada, palpasi rumen keras, uji tinju yang dilakukan mendapatkan suara peristaltik yaitu air dan frekuensinya hanya 3 x/5 menit, dimana dalam keadaan normal suara ini akan terdengar 5-8 x/menit.  Palpasi rumen yang keras dan tidak adanya suara peristaltik menunjukkan bahwa tidak adanya aktifitas mekanik di dalam saluran pencernaan.
Aktifitas mekanik merupakan suatu keadaan yang menggambarkan kontraksi sirkuler dinding usus.  Kontraksi ini bertujuan untuk menggerakkan bahan-bahan yang akan dicerna disepanjang saluran pencernaan, untuk mencampur getah pencernaan dengan makanan dan membawa zat makanan hasil pencernaan kearah membran mukosa untuk penyerapan berikutnya.  Pada sapi yang ditemui dilapangan kondisi ini tidak ditemukan, hal ini karena kejadian kembung yang terjadi pada sapi.
Kembung pada sapi ini sebagai akibat penumpukan gas dalam lambung (rumen) karena tidak adanya aktivitas mekanis sehingga rumen akan penuh dengan makanan yang tidak tercerna.  Kondisi ini membawa akibat kosongnya usus dan tidak adanya penyerapan makanan.  Pada pemeriksaan daerah anus dan uroginital didapatkan hasil bahwa daerah sekitar anus kotor karena feses yang keluar lembek dan reflek spincter ani  yang tidak bagus.
Beberapa penyakit komplikasi dapat timbul mengikuti kejadian hypocalcaemia, karena kondisi penderita yang terus berbaring diantaranya  :
1. Dekubites, kulit lecet-lecet.  Luka ini disebabkan karena infeksi yang berasal dari lantai, dapat menyebabkan dekubites.
2. Perut menjadi gembung atau timpani, karena lantai yang selalu dingin mendorong terjadinya penimbunan gas dalam perut pada penderita yang selalu berbaring.
3. Pneumonia.  Kerena terjadi regurgitasi pada waktu memamah biak disertai adanya paralisa dari laring dan faring.  Sewaktu menelan makanan, sebagian makanan masuk ke dalam paru-paru dan dpat diikuti oleh pneumonia pada penderita.
Komplikasi kasus yang  ditemukan  dilapangan yaitu terjadinya lecet-lecet yang terjadi di kulit sebagai akibat adanya infeksi yang berasal dari lantai karena hewan lama berbaring (dekubitus) dan terjadinya pneumonia karena makanan menumpuk di dalam rumen sebgai akibat tidak adanya tonus dalam dalam rumen dan gerakan peristaltik usus peristaltik.
Kejadian pneumonia ini juga sebagai akibat sapi terlalu lama berbaring di lantai sehingga banyak terjadi penimbunan gas, jika kondisi berlangsung lama akan menyebabkan paralisa laring dan faring sehingga sapi akan mengalami kesusahan pada waktu regurgitasi pada waktu memamahbiak akibatnya sebagian makanan akan masuk ke dalam paru-paru.
Diagnosa banding perlu diadakan karena banyak penyakit atau keadaan yang dapat menyerupai paresis puerpuralis, sehingga dapat mengaburkan diagnosa yang bisa terjadi sebelum atau sesudah partus.
Jika kejadian kelumpuhan terjadi sebelum partus kemungkinan penyakit pembandingnya diantaranya metritis septika, akut mastitis, milk fever dan hidrops, sedangkan jika kelumpuhan setelah melahirkan kemungkinan penyakit pembandingnya yaitu calving paralysis, calving injuri, ruptura ligamen sendi belakang, septic metritis&vaginitis, ruptura uteri, paralysis obturatorius, ruptura tendon dan otot, kekejangan otot, toxemia, arthritis akut, dan fraktura pelvis.
Prognosa terhadap kasus hypocalcaemia yaitu fausta-infausta.  Fausta jika kejadian hypocalcaemia cepat ditangani (95% sembuh) dan infausta jika penanganan yang lambat dan pengobatan pertama yang tidak menunjukkan perubahan ke arah kondisi yang membaik.  Kecepatan dan ketepatan diagnosis serta pengobatan sangat membantu kesembuhan .  kesembuhan spontan hampit tidak dimungkinkan.
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan terhadap sapi ini adalah melakukan pemeriksaan darah.  Darah dapat diambil lewat vena jugularis.  Darah yang diambil diperiksa terhadap kadar kalsium darah.
Kalsium dalam serum dapat diukur dengan metoda sangat sederhana sampai metoda yang mutakhir.  Yang termasuk sederhana ialah dengan metoda Clark&Collib yang menggunakan KmnO4 untuk titrasi.  Lainnya ialah dengan metoda “kolorimetri sederhana”, berdasarkan intensitas warna yang kemudian dibandingkan dengan warna standar.
Sekarang sering dilakukan uji untuk menentukan kadar kalsium mengion.  Dalam hal ini dipakai suatu elektroda yang bersifat khas untuk ion kalsium.  Lain dari itu kadar kalsium dalam darah dapat pula ditentukan dengan “Atomic absorption spectroscopy” (Girindra 1988).
Subronto (2001) mengatakan bahwa pemeriksaan kadar kalsium dalam darah dilapangan adalh menurut cara Herdt (1981) dimana peralatan yang dibutuhkan yaitu tabung rekasi 12 ml dengan kalibrasi 2,3,5,7 dan 10 ml, karutan EDTA 1,9%, alat suntik tuberkulin dan water bath.  Cara pemeriksaannya yaitu ke dalam semua tabung reaksi dimasukkan EDTA sebanyak 0.1 ml.  Darah sebanyak 35 ml diambil dari vena jugularis dengan cepat dan dimasukkan ke dalam 5 tabung sampai pada batas kalibrasi.
Setelah ditutup dikocok kuat-kuat dimasukkan ke dalam water bath dengan suhu 1150 F (46.10 C) dan diamati selama 15 dan 20 menit.  Setelah waktu tersebut rak diangkat dan jumlah tabung yang darahnya menggumpal dihitung.  Pada kasus di lapangan tidak dilakukan pengecekan darah untuk melihat kadar Ca, Mg dan P.
Terapi yang dilakukan sudah dilakukan dua kali, dimana pengobatan pertama dilakukan pada hari sabtu (6/05/06) disaat pada sapi baru ambruk.  Obat-oabtan yang diberikan terdiri dari Calci TAD® 50 (3.10 g Ca-glukonas, 4.29 g Ca boroglukonas, 1.32 g Ca-Hydroxie, 6.5 g MgCl-6H2O, 0.6 g 2 aminoethyl dyhidrogen phospatase, 0.1 g methyl 4-hydrogen zinx) dosis 150 cc SC, Hematophan® (Tiap ml mengandung natrium kakodilat 30 mg, besi (III) ammonium sitrat 20 mg, metionin 10 mg, histidin 5 mg, triptopan 2.5 md dan vitamin B12 10 mcg) 20 cc IM dan Novaldon®  (Methamphiron 250 mg, Pyramidon 50 mg, lidocaine 15 mg) 25 cc IM.  Setelah pengobatan ini sapi menunjukkan kondisi yang agak membaik, tetapi pada hari selasa (9/5/06) sapi ambruk kembali dan dilakukan tretmen ulang dengan menggunakan Calci TAD® 50 (3.10 g Ca-glukonas, 4.29 g Ca boroglukonas, 1.32 g Ca-Hydroxie, 6.5 g MgCl-6H2O, 0.6 g 2 aminoethyl dyhidrogen phospatase, 0.1 g methyl 4-hydrogen zinx) dosis 150 cc SC, metabolase® (Mengandung  I-carnitine  hydrochloride,  Thioctic acid,  Pyridoxine  hydrochloride,  Cyanocobalamine,  d,I-acetylmethionine,  I-argin- ine,  I-ornithine  hydrochloride,  I-citruline,  I-lysin  hydrochloride,  Glysine,  Taurine, Aspartic  acid,  Glutamic  acid,  Fruktosa,  Sorbitol) sebanyak 250 cc SC.
Pada pengobatan kedua ini sapi tidak menunjukkan perubahan dan kondisinya cenderung menurun.  Hardjopranjoto (1995) mengatakan bahwa pengobatan pada paresis puerpuralis ditujukan untuk mengembalikan kadar kalsium yang normal dalam darah.  Pengobatan biasanya dipakai preparat kalsium seprti kalsium boroglukonat yang terdiri dari kalsium boroglukonat 20% sebanyak 250-500 ml diberikan intravena atau 500 ml intravena dikombinasikan dengan 250 ml subkutan.  Penyuntikan intravena dengan menggunakan jarum 16 g disuntikkan selama 10-15 menit dimaksudkan agar penyerapan lebih cepat sedang penyuntikan subkutan bila dikehendaki penyerapannya lambat dan dapat memperbaiki turgor kulit.
Dalam waktu yang sangat singkat kadang-kadang sebelum penyuntikan selesai dilakukan penderita sudah sanggup berdiri.  Apabila setelah dilakukan penyuntikan dengan sediaan kalsium belum memberikan hasil penderita perlu dipacu agar bangun dengan jalan dicambuk atau kalau ada dengan electric coaxer.  Electric coaxer dapat pula dipakai untuk mengetahui tingkat paresis yang terdapat pad anggota gerak (Subronto 2001).
Bila kasus ini disertai hipomagnesemia sebaiknya disuntik dengan kombinasi kalsium boroglukonat dan magnesium boroglukonat yang terdiri dari kalsium boroglukonat 200 gram, magnesium boroglukonat 50 gram dan aquades sampai 1000 ml selanjutnya dibuat larutan steril.  Dosis pemberian yaitu 200-500 ml secara intravena.   Pada kasus paresis puerpuralis yang disertai ketosis maka pengobatan dilakukan dengan pemberian kalsium boroglukonat ditambah dekstrose 5% sebanyak 250-500 ml secara intravena.
Bila pengobatan ini tidak berhasil dapat dicoba pengobatan dengan menggunakan pemompaan (insufflasi) udar ke dalam keempat kwartir ambing hingga tekanan intra-mamer meningkat dan menghentikan pengeluaran air susu berikutnya yang berarti menghentikan penghentian pengurasan unsur kalsium ke dalam ambing.
Pengobatan cara ini dapat diulangi setiap 6-8 jam.  Pengobatan dengan cara ini terbukti telah mengurangi kematian sebesar 15%.  Untuk mencegah terjadinya komplikasi seperti dekubites, gembung perut atau pneumonia maka induk penderita sebaiknya selalu dibolak-balik dan diberikan jerami yang cukup tebal sebagai alas berbaring.
Evaluasi pengobatan dengan penyuntikan kalsium ini diajurkan mendengarkan denyut jantung dengan stetoskop.  Kalau tidak digunakan stetoskop, secara visual dapat diikuti dengan melihat reaksi penderita, kecepatan pulsus venosus, gerak bola mata, dan tidaknya eksitasi.
Jika terjadi keracunan sediaan kalsium yang harus segera dilakukan adalah menghentikan penyuntikan, memberikan masase jantung, memberikan sediaan yang berefek pada jantung (MgSO4, atropin), dan sediaan yang dapat mengikat (chelating agent) kalsium misalnya Na-EDTA.
Pencegahan terhadap kejadian milk fever sangat dipengaruhi oleh jumlah kalsium yang dapat diserap dan bukan pada unsur fosfor atau imbangan Ca:P.  Pemberian kalsium hendaknya sekedar untuk memelihara fungsi faali (2.5 g/100 lb).  Yang ideal jumlah Ca dalam pakan sehari adalah 20 gram saja.
Banyak sapi yang mengalami milk fever oleh pemberian kalsium yang tinggi, tidak terganggu oleh pembatasan pemberian unsur tersebut.  Di daerah yang cukup kandungan kalsiumnya dalam pakan sehari-hari pemberian mineral blok yang mengandung kalsium-fosfat tidak dianjurkan untuk sapi yang bunting sarat.
Setelah melahirkan pemberian garam kalsium harus ditingkatkan.  Pemberian vitamin D2 20-30 juta IU/hari 3-8 hari pre partus mampu menurunkan kejadian milk fever.  Vitamin D3 sebanyak 10 juta IU yang disuntikkan intravena sekali saja 28 hari sebelum malahirkan dapt pula menurunkan kejadian milk fever tanpa diikuti deposisi kalsium dialat-alat tubuh.


Apa Itu Penyakit Mastitis?

Penyakit Mastitis pada Ternak

Mastitis adalah peradangan pada ambing yang biasanya disebabkan oleh infeksi kuman. Banyak kuman yang dapat menyebabkan mastitis termasuk bakteri, kapang, dan khamir. Mastitis adalah penyakit yang sangat penting dari segi ekonomi pada peternakan sapi perah, karena diperkirakan sudah menimbulkan kerugian hingga 2 millyar dollar di USA (Owen dan Watt, 1993). Kerugian terbesar terjadi Karena rendahnya produksi susu, sedangkan susu yang terbuang, biaya obat-obatan, Dokter Hewan dan pengafkiran sapi muda memperbesar terjadinya kerugian.

Lebih dari 130 kuman yang berbeda sudah dapat di isolasi dari ambing sapi. Umumnya disebabkan oleh infeksi staphylococcus, streptococcus, dan colliform. Walaupun demikian infeksi oeh mycoplasma mulai menyebabkan masalah penting pada beberapa peternakan sapi perah. Kejadian pertama mycoplasma mastitis dilaporkan di Eropa pada tahun 1960. Sejak saat kejadian penyakit ditemukan diseluruh dunia termasuk USA (1997).

AGEN PENYEBAB
Mycoplasma adalah mikroorganisme kecil yang dapat beriplikasi sendiri. Mikroorganisme ini tidak mempunyai kemampuan membentuk dinding sel, tetapi diselaputi oleh membran plasma. Mycoplasma mempunyai berbagai macam bentuk seperti coccus, spiral, filament dan cincin, tetapi semua dapat dicirikan berdasarkan pertumbuhan mikrokoninya yaitu seperti telur mata sapi. Bakteri ini termaksuk golongan Gram negative, tetapi pewarnaan giemsa lebih baik hasilnya dari pada pewarnaan Gram (Quin et al, 1994)
Hampir 100 spesies dari mycoplasma ditemukan, dengan beberapa spesies sudah diberi nama (Thomas, 1997). Mycoplasma yang sudah ditemukan 8 spesies di isolasi dari. Sampai saat ini yang sering ditemukan pada isolasi adalah Mycoplasma bovis, tetapi sudah ditemukan juga jenis spesies lainya seperti M. canadense, M. bovigentalium, M. californicum di dalam isolasi biakan (Watt. 1998)

Mycoplasma memerlukan medium khusus unuk berkembang biak, Beef infusion dengan 20 % serum adalah media dasar, ekstrak jamur, DNA dan ditambahkan factor pertumbuhan lainya. Dengan menggunakan media khusus, antibiotic penicillin ditambahkan untuk menghindari perkembangan bakteri ini . Karena tidak mempunyai dinding sel, antibiotic , antibiotic yang mengandung B Lactam dapat diberikan pada media biakakan (Quin Et al 1994). Karena bakteri tidak mempunyai dinding sel, antibiotic yang mengadung beta-lactam dapat diberikan pada media biakan dan pertumbuhan dari mycoplasma tidak dipengaruhi.

GEJALA KLINIS
Spesies yang sering menyebabkan mycoplasma mastitis adalah Mycoplasma bovis. Mikroorganisme ini umumnya berada pada saluran pernafasan atas, sering dihubungkan dengan saluran pernafasan komplek dan pneumonia enzootic pada sapi (Jasper, 1984).

Sapi harus yang dicurigai terinfeksi mycoplasma jika mempunyai mastitis yang bersifat purulen dan kadang tidak menampakkan gejala klinis yang nyata. Sapi umumnya terkena mastitis lebih dari satu kwartir, dengan diikuti terjadi penurunan produksi susu. Warna susu menjadi merah kecoklatan dan terdapat lapisan sendimen (Jasper, 1984). Perubahan pada susu bukan indicator yang akurat untuk awal infeksi karena dari hasil penelitian ditemukan bahwa 10 6- 108 CFU/ml dari Mycoplasma bovis di deteksi pada 2-3 hari sebelum terjadi perubahan pada susu. Uji Callifornia Mastitis Test (CMT) akan terlihat negatif pada 1-3 hari post infeksi, tetapi pada hari 3-7 uji CMT positif dan perubahan pada susu akan tampak mengindikasikan mastitis. Beberapa minggu setelah infeksi akan terjadi penurunan produksi susu yang sangat cepat dan tidak dapat kembali lagi pada kondisi normal hingga beberapa bulan (Thomas, 1997). Meskipun terjadi peradangan lebih dari satu kwartir jarang timbul demam atau penurunan nafsu makan.

PATHOGENESIS
Bersama-sama dengan Staphylococcus aureus dan Streptococcus agalactiae, Mycoplasma bovis sebagai pathogen yang menular. Infeksi sudah dapat terjadi ketika jumlah kuman 70 CFU/ml. Mycoplasma bovis secara mudah dapat ditularkan dari sapi ke sapi melalui proses pemerahan yang kurang baik, peralatan yang terkontaminasi ataupun melalui tangan pemerah.

Meskipun kerusakan jaringan biasanya terjadi karena adanya respon kekebalan dari sapi, mycoplasma sendiri dapat mengahasilkan kerusakan secara langsung. Hasil metabolit akhir dan toksin dapat merusak membran sela inang, dan menyebabkan kerusakan jaringan (Fox dan Gay, 1993). Respon dari kekebalan dari tubuh inang menyebabkan kerusakan jaringan oleh respon peradangan neutrofil, makrofag, sel plasma dan jaringan ikat. Pada mulanya saluran susu banyak terdapat neutrofil dan epitel saluran susu mulai membelah, sehingga memenuhi isi lumen. Sementara itu epitel alveoli mengalami reaksi berlawanan: sel mengecil, produksi susu menurun dan dipenuhi dengan eksudat. Ketika reaksi makin hebat, alveoli dan saluran susu akan diganti dengan jaringan ikat yang bersifat permanent. Daerah yang pernah terinfeksi masih dapat memproduksi susu tetapi terjadi penurunan produksi. Umumnya system kekebalan akan bereaksi terhadap Mycoplasma bovis untuk memberikan perlindungan.

DIAGNOSA
Sapi yang menunjukkan awal gejala klinis harus dilakukan pemeriksaan sample susu untuk dilakukan isolasi agen. Media Enriched digunakan mengisolasi mycoplasma. Specimen harus berada dalam keadaan dingin atau beku sampai 2 minggu sebelum sampai di Lab. Sampel susu kemudian diletakkan pada cawan yang mengandung media untuk mycoplasma dan di inkubasi pada suhu 370C selama 24 jam, beberapa spesies mycoplasma membutuhkan masa inkubasi 6-7 hari untuk melihat pertumbuhan koloninya. Diagnosa lain yang dapat membantu adalah pemeriksaan susu pada tempat penampungan susu secara rutin; hal ini akan menolong untuk mengetahui awal infeksi. Jika biakkan positif, tiap sapi dapat dilakukan pemeriksaan susu untuk mengetahu adanya mycoplasma mastitis.
Isolasi atau pembiakan dapat untuk menduga kasus kejadian ini. Bagaimanapu juga untuk mengindentifikasi mycoplasma dibutuhkan uji-uji yang lainya. Karena Mycoplasma bovis merupakan kuman pathogen dan sering menyebabkan mastitis, sangatlah penting untuk mengetahui karakternya, sehingga dapat dilakukan pencegahan untuk mengurangi penyebaran dari sapi ke sapi.

PENCEGAHAN
Tidak adanya pengobatan yang efekti, yang paling penting jika terjadi wabah mycoplasma mastitis harus dengan mengurangi penyebaran yang lebih meluas. Desinfeksi pada tempat susu, tangan pemerah dan mencuci pakaian yang kemungkinan dapat menularkan dari sapi ke sapi. Jadi manajemen pemerahan yang adalah factor yang sangat penting untuk mengurangi penyebaran. Pembersihan dan pemakaian satu kain untuk setiap sapi, teat dipping sebelum dan sesudah memerah, memakai sarung tangan, dan desinfeksi tangki susu dapat mengurangi terjadinya penyebaran diantara sapi (Tyler et al.1993).

Perbaikan sanitasi selama pemerahan merupakan hal penting untuk mengurangi terjadinya penularan dari sapi sakit kepada yang sehat. Pemeriksaan mycoplasma terhadap sapi yang terkena mastitis. Sapi mastitis dipisah dengan yang sehat dan diperah terakhir sehingga akan membantu mengurangi penyebaran.

Pengobatan antibiotikpada masa kering kandang untuk kuman yang sering menyebabkan mastitis dan bersifat pathogen sangat dianjurkan. Karena Mycoplasma bovis dapat menyebabkan resistensi antibiotic, sehingga pengobatan dengan menggunkan antibiotic pada kasus klinis sering gagal dan tidak dianjurkan (Ball dan Campbell, 1989).

Percobaan dengan menggunakan vaksin pada mycoplasma arthritis sudah dilakukan sehingga diharapkan untuk mencegah mycoplasma mastitis dapat dilakukan dengan vaksinasi. Sapi yang mampu menghilangkan dari infeksi kuman berkurang kecenderunganya untuk terjadi infeksi ulang.
Banyak terjadi wabah Mycoplasma bovis yang diakibatkan datangnya hewan baru, perluasan ke putting di antara sapi berisiko besar. Pemeriksaan susu dari hewan yang baru masuk akan membantu mengindentifikasi carier dan membantu peternak dalam mengambil keputusan sebelum terjadinya penyebaran yang lebih luas lagi. Dari seekor hewan yang terinfeksi dapat mengeluarkan kuman dalam jumlah yang besar, penseleksian terhadap hewan yang baru masuk sangat penting. Beberapa penelitian mengatakan bahwa saluran respirasi dapat terinfeksi Mycoplasma bovis yang dapat menginfeksi ambing sehingga beberapa peneliti menyarankan untuk memeriksan saluran respirasi dari hewan yang baru masuk.

Susu yang berasal dari sapi yang terinfeksi Mycoplasma bovis dapat menjadi sumber infeksi bagi anak sapi. Di Michigan Mycoplasma bovis ditemukan pada anak sapi Holstein yang di duga terinfeksi otitis media. Para peneliti percaya bahwa anak sapi mengkonsumsi susu dari induk yang terinfeksi akan membentuk koloni pada nasopharynx dengan perluasan sampai saluran telingga dan bullae tympanica. Anak sapi yang ditempatkan dalam satu kandang mempunyai kecenderungan meningkatnya kejadian penyakit pada saluran respirasi yang disebabkan oleh Mycoplasma bovis (Walz, et al 1997). Pada prakteknya jangan memberikan makanan susu dari induk yang sedang mengalami pengobatan mastitis untuk menghindari infeksi dari pathogen ini.

KESIMPULAN
Mycoplasma adalah penyakit yang penting bagi peternakan sapi perah. Adanya pembelian induk dari luar akan menambah resiko terinfeksi Mycoplasma bovis. Meskipun bakteri klasik penyebab mastitis masih menyebabkan masalah ekonomi yang penting pada peternakan sapi perah, mycoplasma mastitis sudah menimbulkan kerugian pada beberapa peternakan dan makin meluas. Sapi mastitis lebih dari satu kwartir dan tidak menampakkan gejala klinis harus dicurigai terhadap mycoplasma mastitis dan isolasi dari susu harus dilakukan untuk menguatkan diagnosa. Jika sapi terinfeksi Mycoplasma bovis tindakan pencegahan harus segera dilakukan untuk menghindari penyebaran yang lebih meluas. Karena bakteri ini dapat keluarkan pada susu dalam jumlah yang banyak, pemisahan dan pemerahan pada sapi yang mengalami mastitis dengan menggunakan peralatan yang hygiene sangat bermanfaat untuk mencegah penyebaran. Pemeriksaan sapi yang baru masuk sebelum dimasukkan dengan sapi yang lama dapat mencegah penyebaran infeksi. Kemampuan daya tahan terhadap antibiotic dan tingkat keganasan kuman ini cukup tinggi, pemotongan terhadap sapi yang diduga terkena mycoplasma harus dipertimbangkan.


JENIS TANAMAN TERNAK (Fodder Plant)

TUGAS AKHIR
ILMU LINGKUNGAN TERNAK
“FODDER PLANT”



SUJOKO PURNOMO
1110612243


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2014

(Fodder Plant)

  Rumput Benggala
  • Nama latin : Panicum maximum,
  • Nama umum : Rumput benggala
  • Asal : Afrika
  • Deskripsi/tanda-tanda :
          -Perennial, rumpun dgn banyak anakan, tinggi 1-1,8 m, bunga mayang.
  • Agronomi :
          -Adapatasi luas hidup pada hujan > 760 mm/tahun
          -Tidak tahan genangan air
          -Responsif terhadap pupuk N
          -pH tanah 5 – 6
          -Tiga tipe : Giant types (3.8 m): cv Hamil, Coloniaao
          -Medium types (2 m) : cv Gatton, Common, Makuaeni

Rumput Signal
  • Nama latin : Brachiaria decumbens,
  • Nama umum : Rumput Signal
  • Asal : Afrika
  • Deskripsi/tanda-tanda :
       -Perenial, tumbuh membentuk hamparan lebat dengan ketinggian 40 cm. Berstolon,
         bentuk bunga mayang.
  • Agronomi :
          -Hujan > 1500 mm/tahun             
          -Lebih tahan kering daripada B. mutica
          -pH 6-7
          -Responsif pemupukan berat dan tahan penggembalaan berat
          -Hidup baik dgn Centro (Centrosema pubescens)
          -Produksi 90-150 ton segar/ha/th
          -Kapasitas tampung 5 ekor/ha dgn hasil 920 kg PBB
Rumput Ruzi
·         Nama latin : Chloris gayana
·         Nama umum : rumput ruzi
·         Asal : Afrika
·         Deskripsi : - Perenial, berstolon sampai 1,5 m, bunga berbentuk payung
·         Agronomi :
 - Hujan > 630-1150 mm/th, agak tahan kering (dibawah buffel grass dan
green panic), tumbuh pada pelbagai jenis tanah, responsif thd tanah yang
subur, tahan salinitas tinggi.
 - Tahan grazing, dan dapat berkombinasi dgn pelbagai legum : desmodium,
siratro, centro, stylo

 - 4 cv : cv Pioneer, Katambora, Samford, Callide
 Pangola Grass
  • Nama latin : Digitaria decumbens,
  • Nama umum : Pangola grass
  • Asal : Afrika
  • Deskripsi/tanda-tanda :
          -Perenial, berstolon, rumpun tinggi 60-120 cm berbentuk menjari (digit)
  • Agronomi :
         -Hujan > 1000 mm/th, tahan kering, tumbuh pada berbagai jenis tanah, responsif
           pupuk N dan senang terhadap tanah yang subur. Dengan pupuk N tinggi PK 11,6%
           -Alat tanam sobekan rumpun
          -Tahan grazing, dan dapat berkombinasi dengan berbagai legum : desmodium,
           siratro, centro, stylo, pueraria, calopo
           -PPB setahun 2000 kg/ha pada tanah irigasi dan dipupuk N 300 kg N/ha/th.

Rumput Mexico

·         Nama latin : Euchalena Mexicana
·         Nama umum : Rumput Mexico
·         Asal : Amerika Tengah, Meksiko
·         Deskripsi : - Perenial, tinggi 2,5-4 m, tegak, tahan naungan
·         Agronomi :
- Hujan cukup tumbuh baik
- Penanaman dgn stek, sobekan rumput
- Kegunaan : rumput potong, silase
- Zat antinutrisi : HCN perlu pelayuan sebelum diberikan ternak

Rumput Gajah
  • Nama latin : Pennisetum purpureum,
  • Nama umum : Elephant grass, Napier grass, rumput gajah
  • Asal : Afrika
  • Deskripsi/tanda-tanda :
  • - perennial, bentuk rumpun, mempunyai rhizom, tumbuh tegak (4-5 m)
- setiap kg 3 juta biji
·         Agronomi :
          - biji sedikit dan viability (daya hidup) rendah
          - tumbuh dari dataran rendah-dataran tinggi dengan curah hujan sampai 2500  mm/tahun   (Malang ± 2000 mm/th, tinggi 450 m dpl) – penyebaran secara vegetatif, hal ini penting untuk mempertahankan karakter kultivar (cv.= cultivated variation)
 Parodi
  • Nama latin : Sorghum almum,
  • Nama umum : Parodi,
  • Asal : Afrika, Amerika Selatan
  • Deskripsi/tanda-tanda :
         -Tegak, rumpun dengan banyak anakan, dari rhizom yang pendek tumbuh anakan,
           tinggi 3.4m
         -Satu kg berisi 121.000 biji
  • Agronomi :
          -Diturunkan dari hybrid Johnson grass (Sorghum halepense), Sorgum biji dan
           Sorghum bicolor
          -Hidup hujan > 460 mm/th, tahan kering dan tahan kadar garam tinggi
          -Pada tanah subur bisa hidup 10 th
          -Berbunga setelah 49-56 hari
          -Kegunaan : hay, silase, grazing

 Teosinte, Rumput Mexico
  • Nama latin : Euchlaena mexicana,
  • Nama umum : Teosinte, rumput Mexico
  • Asal : Amerika Tengah, Meksiko
  • Deskripsi/tanda-tanda :
          -Perenial, tinggi 2,5-4 m, tegak, tahan naungan
  • Agronomi :
          -Hujan cukup tumbuh baik
          -Penanaman dgn stek, sobekan rumpun
          -Kegunaan : rumput potong, silase
          -Zat antinutrisi : HCN perlu pelayuan sebelum diberikan ternak

 Rhodes Grass
  • Nama latin : Chloris gayana,
  • Nama umum : Rhodes grass
  • Asal : Afrika
  • Deskripsi/tanda-tanda :
-Perenial, berstolon sampai 1,5 m, bunga berbentuk payung
  • Agronomi :
        -Hujan > 630-1150 mm/th, agak tahan kering (di bawah buffel grass dan  
         green panic),tumbuh pada berbagai jenis tanah, responsif terhadap tanah yang subur,
         tahan salinitas tinggi.
        -Tahan grazing, dan dapat berkombinasi dgn pelbagai legum : desmodium, siratro,
         centro, stylo
        -4 cv : cv Pioneer, Katambora, Samford, Callide

 Buffel grass
  • Nama latin : Cenchrus ciliaris,
  • Nama umum : Buffel grass
  • Asal : Afrika, India, Indonesia
  • Deskripsi/tanda-tanda :
      -Perenial, tinggi sampai 1,5 m, batang tegak (erect) dan agak merunduk (prostrate),
       bunga berwarna kecoklatan seperti ekor rubah.
  • Agronomi :
          -Sangat tahan kering (drought resistance) dan tahan api (fire resistance) krn
            Mempunyai batang/ rhizom bawah tanah
          -Adaptasi luas pada pelbagai jenis tanah, tahan terhadap penggembalaan berat
          -3 cv. :
           – Tall (up to 1,5 m) membentuk rhizom : cv. Biloela, Malopo, Boorora, Lawes,
           – Medium height (up to 1m) tanpa rhizom: cv. Gayndah, cv. American
           – Short type ( up to 75 cm) tanpa rhizom: cv West Australian
 
 Rumput Setaria
  • Nama latin : Setaria anceps,
  • Nama umum : Rumput setaria
  • Asal : Afrika
  • Deskripsi/tanda-tanda :
          -Perenial, membentuk rumpun, punya rhizom dan stolon
          -Pangkal batang yang merah berarti kaya asam oksalat
  • Agronomi :
         -Hujan > 760 mm/th
         -Dapat berkombinasi dengan : desmodium, siratro, centro, stylo
         -3 cv : cv Nandi, Kazungula, Narok (asam oksalat 7% BK)
         -Urolithiasis : batu di uretra/saluran kemih

 African Star Grass
  • Nama latin : Cynodon plectostachyus ,
  • Nama umum : African Star grass
  • Asal : Afrika
  • Deskripsi/tanda-tanda :
         -Perenial, membentuk rumpun dan berstolon yang membentuk jaring yang padat,
           tinggi batang 60-100 cm, bunga berbentuk menjari (digit)
  • Agronomi :
          -Hujan > 500-890 mm/th, tahan kering, tumbuh pada pelbagai jenis tanah,
          -Dipupuk N utk meningkatkan produksi ternak
          -Bibit dengan potongan stolon
          -Tahan grazing
          -Kandungan HCN tinggi

  Jaragua Grass
  • Nama latin : Hyparrhenia rufa,
  • Nama umum : Jaragua grass
  • Asal : Afrika
  • Deskripsi/tanda-tanda :
          -Perenial, membentuk rumpun yang padat, bila tua sampai tinggi 3 m dan berdaun sedikit
          -Pada saat muda disukai ternak, bila sudah berbunga tidak disukai krn batang keras
           Dan didominasi bunga
  • Agronomi :
         -Hujan > 500-890 mm/th, tahan kering, tumbuh pada pelbagai jenis tanah,
         -Dipupuk N utk meningkatkan produksi ternak
         -Bibit dengan potongan stolon, sobekan rumpun
         -Tahan grazing
         -Kandungan HCN tinggi

 Common Paspalum, Dallis Grass, Rumput Australia
  • Nama latin : Paspalum dilatatum,
  • Nama umum : Common paspalum, Dallis grass, rumput Australia
  • Asal : Amerika Selatan
  • Deskripsi/tanda-tanda :
       -Perenial, membentuk rumpun yang padat dan berdaun banyak serta berrhizom
        merayap yang pendek
  • Agronomi :
         -Hujan > 890-1.000 mm/th,
         -Tumbuh baik pada tanah yg berat, lembab, dan subur
         -Nilai nutrisi baik pada saat masih muda, tahan penggembalaan berat dan injakan
           krn perakaran yang kuat di dalam tanah

  Plicatulum
  • Nama latin : Paspalum plicatulum,
  • Nama umum : Plicatulum
  • Asal : Amerika Selatan (Brazil, Guatemala)
  • Deskripsi/tanda-tanda :
       -Perenial, membentuk rumpun setinggi 1,2 m
  • Agronomi :
       -Hujan > 760 mm/th,
       -Berkombinasi baik dgn leguminosa yang menjalar utk membentuk padang
         rumput campuran (mixed pastures )yang baik
       -Tumbuh agresif dan responsif thd pemupukan N yang tinggi.


More

Whats Hot